Jumat, 22 Juni 2012

Perkembangan Al-Qur'an di Indonesia: Tulisan Ringkas

Catatan: Untuk pengutipan (sitasi), silakan unduh dan baca artikel dalam versi lebih lengkap: "Pencetakan Mushaf Al-Qur'an di Indonesia", Suhuf, Vol. 4, No. 2, 2011, hlm. 271-287: https://jurnalsuhuf.kemenag.go.id/suhuf/article/view/57/56 


Khazanah mushaf Al-Qur’an kuno Indonesia – atau dengan kata lain “Nusantara”, dengan pengertian geografis dan budaya yang lebih luas – cukup banyak, baik dalam koleksi di Indonesia sendiri maupun di luar negeri. Dapat diperkirakan bahwa mushaf merupakan naskah yang paling banyak disalin oleh masyarakat kita, sejak zaman dahulu. Di samping itu, mushaf Al-Qur’an memperoleh perhatian istimewa karena banyak dihias dengan beragam corak hiasan.
Dari berbagai usaha penelusuran keberadaan mushaf kuno, diketahui bahwa di Indonesia sekurang-kurangnya terdapat 455 naskah, dan dalam koleksi berbagai lembaga di luar negeri sekurang-kurangnya terdapat 203 naskah. Semuanya berjumlah 658 naskah mushaf. Tentu saja angka ini bersifat sementara,  dan masih banyak koleksi mushaf yang belum terdaftar.
Penyalinan Al-Qur'an di Nusantara telah dimulai sejak akhir abad ke-13, ketika Pasai secara resmi merupakan kerajaan Islam. Hal ini disinggung dalam catatan perjalanan Ibnu Batutah ke Aceh pada masa Sultan Malik az-Zahir. Meskipun demikian, naskah mushaf tertua yang diketahui hingga kini disalin sebelum tahun 1606, dengan kolofon berbahasa Jawa, yang saat ini dalam koleksi Belanda.
Mushaf Al-Qur’an koleksi Bayt Al-Qur’an & Museum Istiqlal, Jakarta.
 
Penyalinan Al-Qur'an secara manual terus berlangsung sampai akhir abad ke-19 atau awal abad ke-20 yang berlangsung di berbagai kota dan pusat-pusat Islam masa lalu, seperti Aceh, Padang, Palembang, Banten, Cirebon, Yogyakarta, Surakarta, Madura, Lombok, Pontianak, Banjarmasin, Samarinda, Makassar, Ambon, Ternate, dan wilayah lainnya. Sebagian warisan masa lalu tersebut kini tersimpan di berbagai perpustakaan, museum, pesantren, ahli waris, dan kolektor, baik di dalam maupun di luar negeri.

Cetakan Palembang dan Singapura
Perkembangan teknologi cetak naskah-naskah keagamaan merambah Nusantara pada pertengahan abad ke-19. Pada saat yang sama, penyalinan mushaf Al-Qur'an secara manual berangsur-angsur mulai ditinggalkan, seiring dengan kamajuan teknologi cetak. Pencetakan mushaf di Nusantara – demikian pula di dunia Islam umumnya – menggunakan teknik litografi (cetak batu), dan tidak menggunakan teknik tipografi (dengan satuan huruf dari logam). Pilihan terhadap teknik tersebut – berbeda dengan perkembangan percetakan di Eropa – karena hasil cetakannya hampir sama dengan keindahan kaligrafi tulisan tangan. Hal ini dapat dimengerti, sebab karakter huruf Arab sambung-menyambung, berbeda dengan huruf Latin yang terdiri atas satuan huruf terpisah. Mushaf yang dicetak dengan teknik tipografi tidak banyak memuaskan kaum muslim. Maka tidak mengherankan, meskipun di Eropa mushaf Al-Qur’an telah mulai dicetak sejak abad ke-16, namun tidak berkembang di dunia Islam.

 Mushaf cetakan Palembang, tahun 1854, koleksi Masjid Dog Jemeneng, 
Makam Sunan Gunung Jati, Cirebon.

Mushaf litografi yang masih ada hingga sekarang adalah sebuah mushaf yang selesai dicetak pada 20 Agustus 1848 di Palembang oleh Haji Muhammad Azhari bin Kemas Haji Abdullah (lihat http://quran-nusantara.blogspot.com/2012/04/mushaf-cetakan-palembang-1848-mushaf.html). Sejauh yang diketahui hingga kini, inilah mushaf cetakan litografi tertua di Asia Tenggara. Mushaf ini dicetak menggunakan alat cetak Press Lithographique yang dibeli oleh Azhari di Singapura sepulang dia dari haji. Mushaf cetak tua lainnya, bertahun 1854, dicetak oleh percetakan yang sama (lihat http://quran-nusantara.blogspot.com/2012/04/quran-cetakan-palembang-1854-kolofon.html).

 Mushaf cetakan Singapura, akhir abad ke-19, koleksi Masjid Tua Kaitetu, Maluku Tengah.

Mushaf-mushaf cetak batu lainnya yang banyak beredar di Nusantara pada akhir abad ke-19 adalah cetakan Singapura. Tinggalan mushaf itu tersebar di berbagai daerah, dari Sumatra hingga Maluku. Pada saat itu Singapura menjadi salah satu pusat pencetakan dan distribusi buku-buku keagamaan di Asia Tenggara (lihat http://quran-nusantara.blogspot.com/2012/09/mushaf-cetakan-singapura.html).

Cetakan Bombay
Mushaf cetak lainnya yang banyak beredar di Asia Tenggara terutama sejak akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 adalah cetakan Bombay (atau Mumbai), India. Kota di pantai barat India ini merupakan pusat percetakan buku-buku keagamaan yang diedarkan secara luas ke kawasan Asia Tenggara. Luasnya peredaran itu dapat dilihat dari peninggalan mushaf cetakan India yang terdapat di beberapa daerah, yaitu Palembang, Demak, Madura, Bima, Malaysia, hingga Filipina Selatan (lihat http://quran-nusantara.blogspot.com/2012/04/mushaf-cetakan-india-koleksi-kms.html#more).

Mushaf cetakan Bombay, akhir abad ke-19, koleksi Museum Masjid Agung, Demak, Jawa Tengah.

Dengan demikian tidak mengherankan jika tradisi cetak mushaf di kawasan ini dimulai dengan mereproduksi mushaf cetakan India itu. Jenis mushaf lainnya yang juga beredar di kawasan Asia Tenggara adalah cetakan Turki dan Mesir, dengan jumlah yang lebih sedikit, karena kebanyakan hanya dibawa oleh jamaah haji yang pergi ke tanah suci.
Penerbit Sulaiman Mar’i yang berpusat di Singapura dan Penang, selama bertahun-tahun sejak sekitar tahun 1930-an ketika memulai usahanya, hanya mereproduksi mushaf cetakan Bombay. Itu terlihat dari ciri hurufnya yang tebal. Sebenarnya ada beberapa gaya tulisan mushaf India yang digunakan untuk menulis Al-Qur’an – meskipun kesemuanya ada kemiripan – namun mushaf yang paling banyak dicetak adalah mushaf dengan gaya tulisan dan harakat tebal, yang kemudian sering disebut sebagai “Al-Qur’an Bombay”.

Perkembangan Penerbitan Mushaf
Generasi pertama pencetak mushaf Al-Qur’an di Indonesia adalah Abdullah bin Afif Cirebon yang telah memulai usahanya sejak tahun 1930-an – bersamaan dengan Sulaiman Mar’i yang berpusat di Singapura dan Penang – serta Salim bin Sa’ad Nabhan Surabaya (lihat http://quran-nusantara.blogspot.com/2012/05/mushaf-cetakan-abdullah-bin-afif.html#more). Usaha bidang ini kemudian disusul oleh Penerbit Al-Ma’arif Bandung yang didirikan oleh Muhammad bin Umar Bahartha pada tahun 1948 (lihat http://quran-nusantara.blogspot.com/2012/09/penerbit-al-maarif-bandung.html#more). Mereka tidak hanya mencetak Al-Qur’an, namun juga buku-buku keagamaan lain yang banyak dipakai umat Islam.

Mushaf cetakan Bukittinggi, 1933, koleksi Bayt al-Qur'an & Museum Istiqlal, Jakarta.

Pada 1950-an penerbit mushaf di Indonesia di antaranya adalah Sinar Kebudayaan Islam dan Bir & Company. Penerbit Sinar Kebudayaan Islam menerbitkan mushaf pada tahun 1951, sementara Bir & Co mencetak mushaf dengan tanda tashih dari Jam’iyyah al-Qurra’ wal-Huffaz (perkumpulan para pembaca dan penghafal Al-Qur’an) tertanggal 18 April 1956. Pada 1960-an Penerbit Toha Putra Semarang memulai kegiatan yang sama, lalu disusul Penerbit Menara Kudus (lihat http://quran-nusantara.blogspot.com/2012/05/menara-kudus-1974.html#more). Penerbit lainnya pada sekitar periode ini adalah Tintamas (lihat http://quran-nusantara.blogspot.com/2012/05/blog-post.html#more), dan beberapa penerbit kecil lainnya.
Sampai dengan dasawarsa 1970-an dan 1980-an sejumlah penerbit di atas masih merupakan “pemain utama” dalam produksi mushaf di Indonesia. Pada periode tersebut juga muncul sejumlah penerbit mushaf baru di berbagai kota, yaitu Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya. Demikian pula pada dasawarsa 1990. Sejak dasawarsa 2000-an, beberapa penerbit yang semula hanya menerbitkan buku keagamaan – dan mereka telah sukses di bidangnya – mulai tertarik untuk menerbitkan mushaf. Bahkan sebagian lain semula merupakan penerbit buku umum.

Era Baru
Para penerbit mushaf dasawarsa 1980-an, setelah keluarnya Mushaf Standar pada 1984, hingga awal dasawarsa 2000-an, pada umumnya masih meneruskan tradisi lama dalam produksi mushaf. Mereka kebanyakan hanya mencetak Al-Qur’an Bombay (dengan sedikit modifikasi lagi untuk sepenuhnya sesuai dengan Mushaf Standar), Al-Qur’an “Bahriyah” model sudut, atau Mushaf Standar yang telah ditulis ulang oleh kaligrafer Indonesia. Sampai sejauh itu agaknya tidak ada inovasi yang berarti baik dalam tampilan maupun komposisi isi mushaf. Dalam hal desain kulit, misalnya, pada umumnya hanya berbentuk persegi empat dengan ragam hias floral. Nama mushaf, Qur’an Majid (kebanyakan mushaf dari India menggunakan nama ini) atau al-Qur’an al-Karim berbentuk bulat di dalam medalion terletak di posisi tengah. Warna yang digunakan pun adalah warna-warna tegas seperti merah, kuning, biru, hijau, coklat, serta emas.
Era baru dalam produksi mushaf muncul sejak awal dasawarsa 2000-an, ketika teknologi komputer semakin maju, dan dimanfaatkan dengan baik oleh para penerbit. Perubahan itu, pertama, dalam hal kaligrafi teks mushaf. Sejak awal dekade itu, hingga sekarang, para penerbit pada umumnya memodifikasi kaligrafi Mushaf Madinah yang ditulis oleh Usman Taha, khattat asal Syria. Mushaf Madinah itu dicetak oleh Mujamma’ al-Malik Fahd yang bermarkas di Madinah.
Perubahan lainnya adalah dalam tampilan kulit (cover) mushaf. Para penerbit mengeksplorasi bentuk-bentuk dan komposisi baru, juga motif ragam hiasnya. Warna yang digunakan pun tidak kaku lagi, namun menggunakan warna-warna cerah, dan dipertegas dengan lapisan plastik dan vernis yang semakin menambah mewah. Sebagian mushaf juga menggunakan warna tertentu, disesuaikan dengan sasaran pasar yang dituju. Kulit sebuah mushaf yang disertai terjemahan dengan sasaran pasar perempuan berwarna ungu, dan ditulis “Al-Qur’anulkarim Special for Woman” (lihat http://quran-nusantara.blogspot.com/2012/08/quran-untuk-para-wanita-sebuah-penerbit.html#more).

Mushaf Al-Qur’an dengan tajwid warna.

Perkembangan mushaf yang disertai terjemahan memang sangat beragam. Para penerbit saling menawarkan kelebihan produknya dibanding produk sejenis lainnya. Mereka berlomba-lomba mengasah kreativitas, baik dalam hal cover, isi, maupun kelengkapan teks tambahannya, seperti indeks isi Al-Qur’an, panduan tajwid, doa-doa, keterangan tanda waqaf, dan lain-lain. Sejumlah penerbit juga memproduksi mushaf bertransliterasi Latin, disertai terjemahan per kata, terjemahan dalam bahasa Indonesia dan Inggris, serta tajwid dengan kode warna (lihat http://quran-nusantara.blogspot.com/2012/05/ragam-mushaf-al-quran-kontemporer-di.html#more).


Juz Amma untuk anak-anak.

Untuk menarik minat anak-anak, beberapa penerbit juga membuat Al-Qur’an dan terjemahannya dengan warna dan hiasan yang khas anak-anak, misalnya bentuk balon, bintang, bulan sabit, atau lengkungan-lengkungan semacam pelangi (lihat http://quran-nusantara.blogspot.com/2012/08/normal-0-false-false-false-in-x-none-ar.html#more). Para penerbit sangat kreatif, dan semua usaha itu adalah untuk pembaca, agar senantiasa tertarik untuk terus-menerus membaca dan mengkaji Al-Qur’an. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar